Selasa, 12 Oktober 2010

Essay (Sample 2)

Panglima : Ya hanya Kata
Betulkan bahwa panglima tidak lain adalah sebuah kata. Buktinya kita bisa memahami maknanya sebagai satu kesatuan. Dalam morfologi, panglima adalah kata yang terdiri atas satu morfem, elemen makna terkecil. Akar kata dari “panglima” adalah /panglima/ itu sendiri. Makna dari panglima adalah pimpinan atau ketua atau komandan dalam sebuah peperangan. Kata itu memang sangat kental dengan aroma tribal peperangan. Cerita-cerita kerajaan dalam masa penaklukan seringkali menyebutkan para pimpinan perang yang gagah berani dengan nasibnya yang kadang sangat membanggakan dan di saat lain sangat menyedihkan menemui kematian dengan terajam ribuan pedang. Benarkah kegagahan seperti itu cukup diatribusikan dengan “sebuah kata”—teramat reduktif dan tidak adil untuk kata yang selama ini berasosiasi dengan kepahlawanan sekaligus kekuasaan itu. Maka, perlu ditempuh satu penelusuran lebih jauh.
Satu sudut di pikiran mengkutak-katik kata itu menjadi satu frasa yang terdiri atas dua kata bahasa Jawa pang “cabang pohon” dan lima “jumlahnya lima.” Angka lima adalah jumlah yang memiliki nilai ekstra dalam kultur bangsa ini, yang memiliki Pancasila, dan juga masyarakat muslim yang memiliki lima kewajiban shalat tiap hari. Maka cabang pohon yang jumlahnya lima menjadi sesuatu yang pantas diasosiasikan dengan nilai tertentu, nilai yang lebih hebat dari jumlah-jumlah lain. Sekali lagi soal jumlah dan asosiasi mistis dan mitos itu juga mengingatkan memori kita pada perspektif kejawaan yang memandang angka yang tidak biasanya dicurigai memiliki nilai lebih. Misalnya, kelopak bunga tertentu yang lazimnya berjumlah lima, bila didapati jumlah kurang atau lebih dari itu, maka bunga “aneh” itu akan menjadi jimat. Atau cicak atau tokek dengan ekor bercabang yang sering dianggap memiliki daya magis (Hirata:2008). Ya, sang pengarang cerdas itu dalam seri terakhir dari tetraloginya bercerita tentang seorang dukun yang teramat sakti dengan berbagai jimat koleksinya. Salah satunya adalah tokek dengan ekor bercabang. Tokek yang lazimnya memiliki satu ekor ternyata terkadang menunjukkan morfologi yang anomaly. Dan ranah pikiran masyarakat mistis, keanehan itu dimaknai sebagai satu keajaiban dan berpotensi sebagai kekuatan, maka jadilah fenomena anomaly selalu diubah menjadi produk-produk mistis budaya. Dan cerita tentang kemahiran perang sang panglima tidak pernah kering dari daya mistis dan kepemilikan benda-benda anomaly berkekuatan mistis.
Dalam kehidupan modern sekarang, panglima masih ada. Presiden adalah panglima tertinggi yang memegang otoritas mengenai keadaan Negara dan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan upaya pengamanan Negara. Film Hollywood sering menggambarkan bagaimana seorang panglima harus memutuskan nasib suatu komunitas yang tertimpa wabah menular apakah mesti diselamatkan dengan jaminan tidak merembet ke komunitas lain, atau malah dimusnahkan sama sekali. Sebagaimana keputusan dalam menangani pesawat yang dibajak, mengirim rudal dan melumat mereka bersama dengan isi pesawat ataukah ada langkah yang bisa dilakukan tanpa membahayakan kepentingan yang lebih besar. Apakah panglima memang tidak bisa jauh dari urusan darah dan nyawa baik menumpahkan atau mempertahankannya?

Sebaliknya: Kata itu Panglima
Bila demikian mengapa kata? Kata tidak memiliki karakter untuk menjadi senjata yang ampuh untuk membunuh, meskipun adagium klise mengatakan “kata lebih tajam dari pedang.” Tetapi apakah sebuah kata atau selaksa kata yang kita tulis dan kita bentuk menjadi piktograf pedang atau pisau bisa memiliki kemampuan sekedar untuk mengiris sepotong tempe yang hendak dimasak? Lalu, apakah kata itu adalah kata milik panglima, karena kata-kata darinya bisa menentukan nasib ribuan nyawa. Atau bahwa kata memiliki ketajaman yang amat ampuh untuk membunuh segala sesuatu yang sifatnya non-fisik, jasadiah. Dengan sifatnya yang tidak tampak dan merambat melalui gelombang udara, sebuah kata bisa menembus dimensi ruang waktu menancap dalam pemahaman reseptor dan mewujud secara begitu nyata dan menggoreskan selaksa luka dalam nurani sebuah bangsa atau seribu juta dera bagi satu umat beragama.
Sebagaimana yang terjadi atas “klaim budaya” tertentu yang menimbulkan gejolak massa yang sangat bersimpati pada budayanya. Sementara PM.Laksono (2009) menanggapinya dengan enteng, “Jangan cengeng dan tidak kreatiflah…biar saja mereka mengaku-ngaku. Ya kita menciptakan lagi…” Seniman yang besar adalah seniman yang tidak pernah kering dan miskin akan karya, maka ketika ada sebagian karyanya dibajak orang lain, tidak memiliki rasa khawatir apapun, karena dia dapat menciptakan karya baru yang lebih baik dari yang diambil orang tadi.
Dengan keampuhan seperti itu, kata tentu saja dapat juga mempengaruhi sebuah realitas atau bahkan dia dapat menciptakan realitas. Lebih ekstremnya “kata” sebagai representasi dari bahasa merupakan prasyarat terpenting bagi sebuah fenomena untuk bisa hadir dan diakui sebagai realitas oleh masyarakat manusia. Maka si cantik bisu yang diperkosa tidak pernah menjadi realitas, karena ia tidak bisa menghadirkan kejadian yang dialaminya dalam bentuk kata-kata. Begitu juga dengan pembantaian di suatu kota tidak mengundang reaksi apapun karena media menyembunyikannya—tidak menciptakan kehadiran bagi fenomena kekejaman manusiawi itu kepada dunia melalui kata-kata dalam salah satu headlinenya. Fakta ini menunjukkan bahwa kata adalah satu kekuatan yang sangat menentukan banyak hal dalam kehidupan manusia. Kehadirannya sebagai perangkat bagi “semiotic reality” untuk hadir tidak lain adalah sebuah “power.” Kata, dengan demikian, bukan sekedar merepresentasikan realitas, tetapi sebagai kendaraan bagi kehadiran realitas (Hasan:2009).
Kata adalah kehadiran realitas itu sendiri. Kata dengan demikian perangkat untuk “mengada” bagi realitas. Realitas menyangkut semua pengalaman yang dapat dicerap pikiran manusia. Melalui kata realitas itu dikemas, disusun, diorganisasikan, dan dibagikan atau disimpan sendiri dalam memori yang tersembunyi dalam simbol-simbol bahasa (Halliday:2009). Bila demikian, kata, atau lebih tepatnya juga merupakan kendaraan bagi pengetahuan, sebagaimana posisi dilematis yang dirasakan oleh Derrida dalam memandang bahasa sebagai kendaraan penghadiran pemikiran yang tidak pernah sepenuhnya mewakili pemikiran yang ada pada dirinya, “karena bahasa adalah bukan alat yang saya ciptakan sendiri, melainkan alat yang paling mungkin saya gunakan” (Sarup, 2008:49). Di bagian lain Derrida menjelaskan bahwa “orang dapat menggunakan bahasa, termasuk tulisan, sains, dan matematika, yang menjelaskan pemahaman lengkap dan jelas atas dunia” (Agger, 2007:115). Dengan demikian, bahasa tidak lain adalah pengetahuan itu sendiri, karena melaluinyalah pengetahuan tentang dunia bisa “mengada” dalam pemikiran manusia. Bila bahasa dipandang dari sudut ini, sebagai representasi pengetahuan maka akan tampak sekali “kepanglimaan” dari “kata” yang tengah kita bicarakan sekarang. Bila kata adalah satu-satunya wadah yang bisa menampung pengetahuan atau setidaknya kendaraan utama bagi pengetahuan, maka siapa saja yang memiliki atau menguasai kendaraan itu, dia adalah panglima itu sendiri.
Kita terbawa ke “Knowledge and Power,” satu pemikiran dari filusuf kontemporer yang sangat berpengaruh bagi teori-teori sosial, Michele Foucault. Hidayat (2004:236) menjelaskan pandangan Foucault mengenai kaitan kuasa dan pengetahuan. Pengetahuan memproduksi kuasa sebagaimana kuasa memproduksi pengetahuan. Kuasa hanya mungkin akan muncul bila ada pengetahuan dan pada saat yang sama tidak akan ada pengetahuan kecuali melalui kuasa. Jadi, ada semacam relasi ganda diantara keduanya: pengetahuan mengandung kuasa seperti kuasa juga mengandung pengetahuan. Penjelasan ini dengan jelas menegaskan dari makna “power” dari bahasa (yang mewujudkan pengetahuan) bukan hanya sebagai daya yang mewujudkan realitas, melainkan daya untuk menguasai secara politik ataupun menguasai aspek-aspek kehidupan lain.

Kata yang Menutup
Demikianlah, “bahasa” atau “kata” tidak lain adalah panglima dengan vitalitas genetis yang menampung pengetahuan kemanusiaan. Vitalitas itu dapat dimodifikasi untuk kepentingan kemanusiaan baik secara negatif maupun positif. Tampak sekali dalam masa komunikasi global seperti sekarang “bahasa” dapat merubah wujudnya menjadi “malaikat yang paling taat” pada satu masa; ia menjadi sumber keberkahan bagi manusia. Pada saat yang sama, bahasa memiliki potensi untuk mewujud menjadi “dedengkot iblis yang paling jahat”; bahasa menjadi momok yang mengerikan karena dapat membenamkan nasib seseorang ke dalam lembah kebinasaan yang terdalam. Teringat satu nasihat dari mitra komentator bahwa kita harus “dewasa” dan “bijak” dalam segala hal, termasuk dalam memanfaatkan sang panglima, “kata” (baca:bahasa), agar bahasa betul-betul menjadi figure yang memberikan layanan terbaik bagi kehidupan manusia, sebagaimana maksud dari inspirator dan Maha Guru bagi kebudayaan manusia, sang ilahi. Semoga…

Daftar Pustaka
Agger, Ben. 2007. Teori Sosial Kritis (Nurhadi-Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme & Posmodernisme. (Medhy Aginta Hidayat-Penerjemah. Yogyakarta: Jalasutra.
Hasan, Ruqaiya. 2009. Space & Language. (INASYSCON 2009). Malang: Universitas Brawijaya.
Halliday, M.A.K. 2009. Tanya-Jawab Leksiko-Tatabahasa (INASYSCON 2009). Malang: Universitas Brawijaya.
Hidayat, Rachmad. 2004. Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan Terhadap Teori Sosial Maskulin. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Hirata, Andrea. 1999. Maryamah Karpov: Mimpi-Mimpi Lintang. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Laksono, PM. 2009. Fenomenologi dalam Kritik Seni (makalah). Seminar Penelitian Seni Interdisipliner. Yogyakarta: Fak. Bahasa dan Seni, UNY.

Essay (Sampel 1)

Derrida, Sang Pembongkar: Lirikannya pada Bahasa

Filsafat: Sosok besar yang melingkup dan menancap
Dua ciri yang paling merasuk dalam pemikiran tentang filsafat adalah sifatnya yang meluas hingga ke luar batas, dan merasuk, membenam hingga dasar dan melintasi dasar itu hingga menemukan horison baru, yang menantang untuk dirasuki. Maka petualangan pikir filsafat tidak lain adalah revolusi dan evolusi yang berlangsung tanpa jenuh, dengan gerak-gerak sentrifugal dan sentripetal atau bahkan gerak tak berpola untuk membelah wilayah logika baru. Maka pemahaman puncak atas satu aliran akan melahirkan jalur-jalur baru bagi kemunculan anak aliran baru, atau bahkan lautan aliran yang akan menjadi bahan kajian yang diperdebatkan dalam dialektika panjang yang ujungnya adalah samudra-samudra dengan ribuan logika berenang, bertarung, demi logika itu sendiri.
Anak-anak aliran itu kadang memperkuat dan menyebarkan nafas dari aliran induknya. Di saat lain, ia menjadi aliran polutif yang mempertanyakan dan seolah mengkeruhkan aliran yang sudah mantap. Namun, hakikat dari jenis-jenis aliran itu adalah sama, keduanya memperkaya aliran lama, menjadi perpsektif baru yang meruncingkan logika awal yang berlaku. Semuanya berlandaskan pada kebebasan pergerakan sosok logika. Maka nilai-nilai seringkali terlonggarkan ikatannya. Apatah lagi emosi dan ego diri sudah sepatutnya menyingkir jauh dari kesejatian logika, dengan menyerahkan sepenuhnya pada kaidah kebebasan logika dalam bahtera filsafati.
Fenomena pemikiran yang “melawan” tampak jelas dari Derrida yang mempertanyakan filsafat Barat yang teramat getol dengan logosentrismenya. Membaca Derrida, meski tidak secara langsung, mengharuskan saya berpikir ulang dan membaca ulang. Pemikirannya mendongkel konsep-konsep yang sudah matang dan tidur tenang dalam pemikiran. Sisi lain menimbulkan kesadaran dinamisme pemikiran, menyentak kesadaran bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna dan utuh; segalanya patut dipertanyakan. Mungkin dekonstrukstivisme adalah aliran pemikiran yang “lebih filsafat” dalam hal “mempertanyakan,” karena ia pun merasa patut mempertanyakan dirinya sendiri. Artinya, setiap orang berhak menjadi Derrida baru yang membongkar konstruk suatu teori dan pada waktu berikutnya menjadi Derrida yang lain lagi untuk mempertanyakan hasil pembongkaran itu (lihat Agger, 2007:125-126). Tulisan ini secara khusus akan mencoba menjumput pemikiran Derrida dalam hal bahasa.

Derrida: Dekonstruksi Konsep Bahasa
Paham strukturalisme yang berkembang paska penerbitan kuliah Saussure memiliki pengaruh yang besar bagi kajian bahasa dan juga bagi kajian-kajian dalam disiplin lainnya. Strukturalisme tampil menjadi lampu penerang yang dapat menguraikan fenomena kebahasaan dan fenomena realitas kemanusiaan lain dengan cara yang mengagumkan. Elaborasi yang taktis dan sistematis kaum strukturalis terbukti mampu menjawab banyak pertanyaan besar dari misteri realitas yang selama ini terabaikan dan dianggap tidak bisa disentuh.
Namun, generalisasi sistem yang terlampau diyakini sebagai satu-satunya kebenaran kemudian menimbulkan “kecurigaan” dan keraguan di benak para pemikir kritis. Salah seorang di antaranya adalah Derrida yang mengalami kebosanan terhadap asumsi kemapanan yang seakan eternal dari penganut strukturalisme. Dua hal yang menjadi fokus dalam pembahasan ini adalah pertanyaan tentang tanda dan persoalan pengunggulan ujaran atas tulisan. Dua isu itu hanya merupakan sebagian dari butir-butir keberatan Derrida terhadap faham strukturalisme, yang terlahir dari pemikiran linguistik Saussure (lihat Alwasilah, 2009:129).
Derrida mendapati kegagalan kaum strukturalisme yang tidak pernah mampu menjelaskan “strukturalitas struktur.” Derrida menganggap keyakinan adanya “pusat” sebagai awal dari struktur yang berada di dalam sekaligus di luar struktur itu tidak lain hanyalah ilusi belaka. “Pusat” itu tidak memiliki situs alamiah dan tidak dapat dihadirkan. Resolusi dari ini, usul Derrida, adalah ketiadaan batas-batas teoritis bagi signifikasi yang mestinya disepakati bersama (Hart, 2005:76). Titik penting pertanyaan besar pada “metafisika kehadiran” inilah yang mengantarkan Derrida pada lubang-lubang pemikiran strukturalisme.
Tanda: Tak ada yang final dan konklusif
Saussure menyatakan bahwa tanda adalah relasi antara signifier-signified (petanda-penanda) yang terkait secara konstan satu sama lain. Kata yang awalnya berupa ujaran berelasi secara linear dengan konsep realitas. Sebagai contoh orang mengerti bahwa “hewan yang digunakan sebagai kendaraan untuk tunggangan” disebut ‘kuda’, atau orang Jawa menyebutnya sebagai ‘jaran’. Kata “kuda” dan “jaran” adalah petanda yang mewakili konsep penanda “hewan yang digunakan sebagai kendaraan untuk tunggangan.” Relasi ini kemudian diparalelkan dengan oposisi materi-ruh dan substansi-pikiran, yang kemudian mengunggulkan posisi ruh dan pikiran (Alwasilah, 2009:129). Tampaknya konsep ini juga terkait dengan prioritas ujaran atas tulisan yang dipegang teguh strukturalis.
Derrida mempertanyakan konsep dan asumsi dasar dari teori Saussure tentang tanda. Ia tidak sepakat akan kemunculan “petanda” yang dianggap selalu lebih awal dari “penanda.” Dengan kata lain “petanda” diyakini sebagai “pengada” yakni realitas yang kemudian melahirkan bahasa. Dan tidak ada “signifie transcendental”, makna transendental. Dengan kata lain, tidak ada makna yang hadir di luar teks. Makna akhir yang muncul di luar teks sejatinya tidak pernah ada. Seperti dijelaskan Hidayat (2006:220), teks bukan merupakan kendaraan mengangkut makna yang merujuk pada makna itu sendiri, melainkan makna itu selalu tertenun dalam teks.
Derrida lebih lanjut menegaskan bahwa tidak ada tanda yang sempurna. Karena makna tidak pernah hadir utuh, dan kehadirannya selalu lekat dalam satu konteks, dan setiap konteks tidak pernah dapat mewadahi makna secara lengkap dan utuh. Derrida menyatakan sebagai berikut: “penanda terus berubah menjadi petanda, dan sebaliknya, dan kita tidak pernah sampai pada petanda terakhir yang dalam dirinya sendiri bukan penanda.” Lanjutnya, ia mengatakan bahwa apa yang diacu oleh penanda tidak lain adalah sesuatu yang tidak ada, dengan demikian makna sendiri dipertanyakan keberadaannya. “makna terus-menerus bergerak di sepanjang matarantai penanda, dan pengguna bahasa tidak pernah memiliki kemampuan untuk memastikan posisinya, karena makna tidak pernah terikat secara konstan dalam satu tanda tertentu (Sarup, 2008:47, lihat Agger:2007, Kaelan:2009). Dengan demikian, makna sendiri begitu relatif dan tidak pernah hadir secara utuh dalam kosakata. Makna tergantung pada kata yang mewadahinya, meskipun kata itu tidak pernah bisa melingkupi sebuah makna secara lengkap dan utuh. Makna suatu bahasa layaknya selalu berproses dalam perubahan dan tidak pernah hadir utuh dan senantiasa membedakan dari dirinya sendiri, sekaligus tertunda dari kemungkinan menuju keutuhan itu (Hidayat, 2006:227).
Derrida memberikan kesimpulan bahwa makna/petanda (signified) tidak pernah bisa melampaui ungkapan/penanda (signifier). Makna sendiri selalu dalam kondisi floating (mengapung) pada kata-kata yang menjadi wadahnya. Kata dan maknanya tidak pernah memiliki hubungan yang konstan dan utuh. Makna selalu berubah ketika kata hadir dalam konteks yang berlainan. Selain itu, makna yang sama bisa hadir (secara tidak utuh) dalam suatu ujaran (kata) yang sama sekali berbeda. Kaelan (2009:262) menjelaskan “setiap makna menjadi bentuk ungkapan baru dari makna berikutnya.” Tampaknya kita kembali pada gagasan sebelumnya bahwa tidak ada makna final yang konklusif dan merujuk ke dirinya sendiri. Makna harus hadir melalui perantaraan kata.
Konsep relativitas makna ini menuntun pada kritik keras teks ala strukturalisme. Dekonstruksionis meyakini bahwa tiap teks memiliki potensi untuk membongkar dirinya sendiri. Agger (2007:121) mengutip pemikiran Derrida yang menyebutkan “Prinsip dekonstruksi menyatakan bahwa semua teks akan terurai begitu dikaitkan dengan kehati-hatian pertanyaan linguistic, filosofis dan kehampaan etis-penihilan, titik nol, pemlesetan, penindasan…semua teks “mendekonstruksi” dirinya sendiri dengan melibatkan penihilan, pemlesetan dan penindasan secara otomatis dalam tindakan literer.” Dan aktivitas dekonstruksi tidak lain adalah interpretasi yang menerangkan momen pembongkaran (dekonstruksi) diri. Pembongkaran itu berlangsung pada level subteks, yaitu tulisan yang membawahi yang tidak pernah benar-benar mengemuka dan berisi bukti ketidakmenentuan teks. Subteks dengan demikian merupakan inferensi dari fakta literer yang nampak dan proses dekonstruksi bertujuan untuk menggali hal-hal yang diyakini ada dan tertutup yang bisa berupa ”pertanyaan yang tidak ditanyakan ataupun pertanyaan yang tidak terjawab, masalah yang tidak diajukan, asumsi yang tertutup rapat atau terpelesetkan” (Agger, 2007:121). Dengan demikian, setiap teks pasti meninggalkan lubang-lubang yang belum sempat tertutup rapat dan menjadi pertanyaan di pikiran pembacanya. Lubang atau celah itu tercipta oleh jarak-jarak dari elemen teks ataupun oleh jarak antara elemen teks dengan unsur yang ada di luar teks, konteks. Dan konteks selalu luas dan bertepi dalam pemikiran tiap pembaca. Jadi, kritik teks selalu melahirkan teks baru yang bisa saja menjadi obyek menarik bagi para dekonstrukfis.

Mempertanyakan Fonosentrisme
Derrida mengkritik strukturalisme yang menganggap tulisan sebagai bentuk kultural yang muncul belakang sebagai representasi dari ujaran. Tulisan tidak lain sekedar pelengkap ujaran dan merupakan instrumen eksternal. Sebaliknya ujaran (voice) diyakini sebagai metafora kebenaran dan keotentikan. Dengan kata lain ujaran memiliki keunggulan dibandingkan tulisan (Alwasilah, 2009:129). Sarup (2008:58) menjelaskan secara apik pandangan Levi-Strauss mengenai oposisi ujaran-tulisan, “ujaran mengandung semua atribut metaforis kehidupan dan vitalitas yang sehat, sementara tulisan mengandung konotasi kekerasan dan kematian yang gelap.” Pandangan inilah yang disebut Derrida sebagai fonosentrisme—kecenderungan yang berlebihan terhadap “phone” (suara) yang dianggap sebagai fakta bahasa yang lebih otentik ketimbang tulisan.
Pandangan ini terlahir dari keyakinan bahwa struktur alam lebih unggul dari struktur kultural. Struktur alam, yang diwakili oleh peradaban primitif, dianggap sebagai struktur yang lebih hakiki dan esensial. Penelitian Levi-Strauss yang berkecimpung dalam masyarakat-masyarakat yang dianggap masih asli adalah sebagian karya-karya besar strukturalisme yang sangat mengagungkan nature (Sarup, (2008:75) Ahimsa-Putra: 2006). Dan tulisan dianggap sebagai produk kultur, sementara ucapan terlahir dari natur. Benarkah demikian?
Derrida menegaskan bahwa tulisan adalah “prakondisi bahasa dan harus dipandang lebih penting dari ujaran. Tulisan merupakan “permainan bebas” atau elemen ketidakpastian dalam setiap sistem komunikasi” (Sarup, 2008:59). Lanjutnya, “tulisan” ini tidak mengacu pada konsep empirisnya, melainkan pada “struktur yang berisikan jejak-jejak.” Derrida juga memperkuat gagasannya dengan menyajikan dua kata “difference” dan “difference” yang dalam bahasa Perancis diucapkan serupa “difference.” Artinya dua kata yang berbeda maknanya ternyata tidak terbedakan dalam ujaran, dan pembedanya tampak ketika dua kata itu dituliskan.
Saussure pun sebenarnya menyampaikan kelemehan ujaran sebagai data linguistik. Salah satunya karena relativitas ucapan yang begitu tinggi terhadap konteks. Setiap bunyi diucapkan secara berbeda oleh pengucap yang berbeda. Begitu juga bunyi yang sama akan terdengar berbeda bila hadir dalam konteks-konteks bunyi yang berlainan. Selain itu, dari waktu ke waktu ujaran mengalami perubahan entah seberapa kecilnya. Dengan demikian, bila kita ingin menggunakan data ujaran, kita harus merekam data itu dari waktu ke waktu. Saussure pun mengakui bahwa tulisan juga penting untuk mengkaji bahasa-bahasa yang sudah mati, dan pasti hanya terekam oleh tulisan yang sempat ditorehkan oleh pengguna bahasa kala itu.
Pernyataan ini mendobrak keyakinan strukturalis yang teramat merindukan “kehadiran” yang melekat dalam ujaran. Ujaran memang lekat dengan keberadaan seorang penutur, tetapi makna dari kata-kata yang diujarkan tidak bisa dianggap sebagai satu kebenaran tunggal yang dapat dipahami secara utuh dan selamanya. Sementara tulisan memungkinkan seorang untuk menengok ulang apa yang telah ia pahami baik untuk lebih memahami atau untuk mengkoreksi pemahaman sebelumnya yang mungkin keliru.
Bila kita kaitkan dengan fenomena globalisme saat ini, “kehadiran” lebih banyak diwakili oleh tulisan. Seorang pengarang misalnya hadirnya diwakili oleh karya-karya novelnya yang menghadirkan dirinya pada dunia dengan cerita-cerita yang menakjubkan. Demikian juga media, terutama cetak, yang menegaskan hadirnya dengan menyajikan berita dan tulisan bermutu bagi pembacanya, yang kemudian menjadikannya dikenal dan dipercaya oleh masyarakat melalui “kehadiran tulisan.” Kelas filsafat kita pun banyak “dihadirkan” melalui tulisan berupa komentar atau karya-karya kecil di blogger yang “hadir” utuh tanpa batas ruang dan waktu.

Penutup
Kemapanan strukturalis ternyata tidak bisa dikatakan “mapan.” Meskipun tidak berarti bahwa alat struktural yang telah diformulasikan para pionirnya tidak lagi berguna. Bukan demikian, Derrida berangkat dari strukturalisme dan menggunakan fondasi-fondasinya untuk mempertanyakan struktur itu sendiri. Ia sendiri menegaskan bahwa dirinya juga layak untuk didobrak kembali menjadimata rantai pendobrakan sebagaimana mata-rantai makna yang berpindah dari satu penanda ke penanda yang lain.
Tulisan ini hanyalah sekelumit gagasan Derrida mengenai bahasa yang sementara ini dapat terekam. Butuh pengkaji yang lebih cerdas dan lebih banyak lagi untuk menguraikan pemikiran-pemikiran Derrida dan meletakan aplikasinya pada kajian-kajian di berbagai bidang kehidupan.

Daftar Pustaka

Agger, Ben. 2007. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya (Nurhadi.penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ahimsa-Putra, Sri Heddy. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss. Yogyakarta: Keppel Press
Alwasilah, Chaedar. 2009. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hart, Kevin. 2005. Jacques Derrida. Dalam Beilharz, Peter (Editor) Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filusuf Termuka (Sigit Jatmiko-Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kaelan, M.S. 2009. Filsafat Bahasa: Semiotika & Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma.
Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme & Posmodernisme (Medhy Aginta Hidayat-penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra.

Rabu, 06 Oktober 2010

Task 1

Write an essay on some issue you are interested in. It can be about profession, recent national issues, new things, or else. Make it not too personal by giving evidences and theories to support. It should be convincing for the readers, and interesting to read.

Ask & Give Opinion on MALE & FEMALE ROLES

A: What kind of rights do women and men want in your country?

B: To begin with, most women and men want the right to work.

A: Do you think both partners in a relationship should expect to work in times of high unemployment?

B: It's often an economic necessity for both partners to work, especially if they're buying a house or providing for a family.

A: What if there isn't enough work to go round?

B: Then some people will be out of a job - they could be either women or men.

A: Aren't they more often women?

B: Yes, but it isn't that women don't want to work. For a start, they suffer more
discrimination in the work-place. When a young woman applies for a job, it isn't
possible to ask her whether she intends to start a family or not, but it is possible to
give the job to a man with fewer qualifications.

A: Does that happen?

B: Perhaps not as much as it used to, but if a woman leaves a job to start family,
it may be very difficult for her to return to full-time work. Many women are in part-
time jobs and on very low rates of pay. Underemployment of well qualified women
who are working as bar-maids or waitresses is a huge waste of talent.

A: Are there many underemployed men?

B: Yes, certainly. There are those who do seasonal work such as deck-chair
attendants or English language teachers and those who depend on the black economy
for occasional jobs - they might repair your motorbike or clean your windows!

A: How about unemployed men?

B: Well, unemployment can be very frustrating for those men who believe that
they should be the bread-winner in a relationship. Many live on state benefits. There
is also a group of men who have become unemployable. They have dropped out of the
system altogether. The adventurous ones become New Age Travellers, the idealistic
ones become political protesters and the dishonest ones turn to crime.

A: So, if the system doesn't give you any rights, you live by your own rules!

Commenting

5.0 AGREEING
5.1 Expressing complete agreement
Listen to the extracts and repeat the words used to show full agreement just as you hear them.
05 We say one thing and mean another?
Exactly.
16 You mean, you can’t fool all the people all of the time?
Exactly.
21 You mean it’s possible to ignore the Green Party, but you can’t ignore their policies when a general consensus of people come to support them?
Exactly.
17 Once the level of benefit is higher than their take-home pay, why should they do a job?
Precisely, but the answer isn’t to remove benefits from those who really need them.
5.2 Expressing conditional agreement
Listen to the extracts and repeat the words used to show conditional agreement. Each extract is repeated twice.
18 I’d agree with you if the purpose of hell was to rehabilitate people back into heaven, but hell is usually associated with torture and damnation.
22 I’d certainly agree if you’re thinking of the World Cup.


6. DISAGREEING
6.1 Expressing complete disagreement
Listen to the extracts and repeat the words used to show strong disagreement. Each extract is repeated twice.
09 In my opinion, fashion is a complete waste of time, money and resources.
I disagree entirely. The world would be a boring place without change.
03 In my view, government money shouldn’t be used to support the Arts.
I’m afraid I can’t agree. Public support for the Arts is the hallmark of a civilized society.
20 Surely, the technology for all this isn’t going to be very user-friendly.
On the contrary. There’ll be different levels of user-friendliness for different users.
15 .... it’s impossible to generalize about why people prefer married to single status.
Rubbish! It must be possible to compare living together with someone to living on your own. What about the question of independence?
6.2 Using irony to express disagreement
Listen to the extracts and repeat the exclamations and questions used for ironic effect. Each extract is repeated twice.
06 Besides, the production lines are often highly mechanized.
Come off it! Agriculture in the Third World is still fairly labour intensive.
26 Spend more time in Rwanda and you’ll understand what I mean.
Come on! The films we see on TV don’t go that far. At least there’s some censorship.
02 Besides, it’s such a cruel way to kill them.
Do you really think so? Once the first dog had caught up with the fox, death is fairly instant.
6.3 Dismissing an argument as irrelevant or improbable.
Listen to the extracts and repeat the phrases used to dismiss or reject arguments. Each extract is repeated twice.
23 I bet you can get traditional Spanish wines and beers!
That isn’t the point. I’m talking about soft drinks.
03 That’s highly debatable. Some of the exhibits you see from contemporary artists are no more than tins of baked beans and piles of bricks.
26 That’s highly unlikely. Everybody understands that films and plays contain drama and that the purpose of the news is to report on what’s wrong.
6.4 Disagreeing diplomatically (through doubt)
Listen to the extracts and repeat the phrases used to cast doubt on arguments. Each extract is repeated twice.
28 The elderly are often confused by modern telephones and automatic switchboards.
I wonder whether that’s the case. Isn’t it rather that they enjoy getting out and about instead of sitting next to a telephone?
28 What I’m saying is that older people have been there before. They’ve had the problems and found the solutions.
I’m not sure that it works like that. You see today’s young live in a different age.
23 If the songs are any good, then surely they’ll survive.
I’m not so sure about that.
Why not?
(Because traditions are now under attack from mass production and mass marketing.)
13 Well, I’m not sure whether you can really separate language from culture
6.5 Disagreeing in part ( appeal to logic )
Listen to the extracts and repeat the phrases used to question the logic or truth of an argument. Each extract is repeated twice.
24 But surely, the canal system is much too slow for industry today.
Not necessarily
24 By the time you’ve loaded the goods onto a truck, you might as well do the whole journey by road.
That doesn’t necessarily follow. A lot of trade is with Europe and before the Channel Tunnel there was a good container industry.
09 ... the advertiser may pay, but the costs are passed onto the consumer.
That isn’t strictly true. If a company can sell in bulk, prices can be brought down.

Giving Opinion (2)

4.1 Expressing a strong opinion
Listen to each extract and write down the phrase used to express an opinion. Each extract is repeated twice.
09 In my opinion, fashion is a complete waste of time, money and resources.
13 In my opinion, there’s only one choice - English!
03 In my view, government money shouldn’t be used to support the Arts.
04 In my reckoning, if we could lock up juvenile criminals, they’d learn that they couldn’t get away with it.
19 I strongly believe in preventing problems before they happen. In much the same way as the Japanese prepare for earthquakes, countries with dry climates could have water catchment systems and reservoirs to defend against water shortage.
06 I definitely think that countries should be self-sufficient in food and basic necessities.
15 Don’t you think it’s better to stay single?
Well, if you ask me, it all depends on your circumstances.
18 Well, I think everybody should have the right to join a trade union.
4.2 Expressing a strong value ( It’s / They’re + value adjective)
Listen to each extract and write down the phrases used to express a strong value or feeling. Each extract is repeated twice.
07 It’s a nonsense to keep everybody at the same level regardless of their progress.
17 ... their employers don’t pay them a living wage. It’s a scandal, because many pizza parlours, pubs and burger bars are really being subsidized by the Government.
25 It’s perfect for short-outings - boat trips around the islands and visits to show-piece villages such as Sigtuna.
27 It’s wrong to leave hospital patients without doctors and nurses. Likewise, strikes among teachers can severely disrupt the education of our children.
24 They’re ideal for people who really want to relax and live life at a slower pace.
4.3 Expressing certainty
Listen to each extract and write down the words used to express certainty or which add authority to the truth.. Each extract is repeated twice.
11 According to government statistics, waiting lists are coming down.
13 Actually, Esperanto is closer to European languages than any others.
10 In fact, we have some of the top chefs in the world, but only people with a lot of money experience British cooking at its best.
07 Clearly, a coeducational environment promotes understanding between boys and girls. It’s far more natural.
05 So in what ways are they superior? .. Well, obviously in size. Everything’s bigger.
09 People have always liked dressing up.
16 People just won’t continue to accept editorial lines... which don’t match up with their experience.
26 Without doubt, television has a lot to answer for.
16 There’s no doubt that these large monopolies have a great deal of power. If we let them finance important developments such as digital television, you can be sure that they’ll market technical devices which can only receive their own TV broadcasts.
19 Well, there’s no doubt that a proper understanding of their problems is needed before we can go much further. Surely, there are immediate things like food aid to countries hit by drought or famine
12 Surely, most of these resorts would have bus services.
15 Surely, there’s more to marriage than having children.
4.4 Expressing high probability
Listen to each extract and write down the words used to show that something is highly probable or someone is almost certain of what they are saying. Each extract is repeated twice.
06 I expect that Japan could adapt. It has a highly skilled workforce and a good technological base.
24 I believe you’ve been working on a transport policy for Britain.
04 I doubt whether they could act as an effective deterrent while the detection rate is so low.
13 I doubt that many other languages can match the size of the English dictionary.
16 I doubt that this would ever happen. The BBC prides itself on its independence...
07 I’d’ve thought they’d be very useful for children without brothers and sisters.
28 I’d’ve thought that was obvious. They’ve lived through personal and family relationships. They’re often experts on matters of health ranging from minor ailments to major operations.
21 There now seems to be a general acceptance that Britain is a multi-racial society.
4.5 Expressing fair probability
Listen to each extract and write down the words used to express assumptions and guesses. Each extract is repeated twice.
15 I guess that many single people have different priorities or else they believe that they’d make unsuitable parents.
01 I suppose it’s all part of your total environment. Scientists don’t understand everything, but they often observe links between certain phenomena.
12 I suppose that if they own these homes, they must be in nice locations.
28 I don’t suppose their grandparents will know what the search commands are.
10 I think it’s probably possible to generalize about what is eaten at main meal-times.
17 There’s probably a good argument for raising income support.
05 They’re probably warmer and more friendly, but they’re very loud and extrovert to go with it.
26 I’m beginning to think it would be a good thing if we were shown genocide... if war correspondents showed us what they meant by collateral damage....

Giving Opinion (1)

John Stuart Mill was a member of British Parliament between 1865 and 1868. He is perhaps most famous for his controversial essay titled ‘On Liberty’, in which he says...

“If all mankind minus one, were of one opinion, and only one person were of contrary opinion, mankind would be no more justified in silencing that one person, than he, if he had the power, would be justified in silencing mankind”.

For those of you who don’t speak ‘politician’, (which is another language entirely, made up of 10% English, 40% media-friendly doublespeak, and 50% waffle), here’s the translation:

“You can have an opinion if you want one”.

And that’s where the problem begins. Because people are basically... well... people, the fact that it is within my rights to have an opinion means that I’m jolly well going to have one whether I do have one (an opinion) or not.

So, in a world of people firing out opinions left, right and centre, how do I go about getting mine heard? And here, once again, is a list of useful sentence starters that will immediately convey your attitude, get others to listen, and prepare them for what comes next...

Giving your Opinion

  • In my opinion / view...
  • Generally speaking, I think...
  • Personally, I haven’t the faintest idea about / whether... (starting with this expression may be interpreted as off-hand and could suggest that you have nothing else to say!)
  • To my mind...
  • I’d just like to say...
  • As far as I’m concerned...
  • I’m quite convinced that...(only use this expression to express a very strong opinion!)
  • To be quite honest / frank...
  • If you ask me...

Finally, I’d just like to say that the negative of ‘I think he does...’ sounds more natural as ‘I don’t think he does...’ rather than ‘I think he doesn’t...’ The latter is not necessarily wrong, it just sounds less natural, in my opinion.

http://www.ecenglish.com/learnenglish/lessons/giving-your-opinion